Jingga di Ujung Senja

Paling tidak, kamu pernah melihatku lagi. Bahwa aku pernah ada di sini bersamamu setelah sekian lama. Ada di tempatku duduk; di mana kita terus bersitatap dan enggan berpaling meski pipi sudah bersemu merah.
Jadi ingatlah, aku pernah di sini. Aku pernah nyata di depanmu lagi. Pernah ada di satu hari umurmu, saat dunia hanya berisi gelap dan kelabu.

”Siap-siap. Sebentar lagi,” ujarku. Dia bergegas mengambil kameranya dari bangku di sebelah, meninggalkan mpek-mpek yang baru habis separuh. Angin menghempas perahu kami di tepian Sungai Musi. Perahu yang di desain menjadi tempat makan ini, banyak berjajar di sepanjang tepi menawarkan berbagai kuliner khas Palembang.

”Spot yang paling bagus di sebelah mana?” Tanyanya sambil memencet tombol di kamera. Aku bergeming menatapnya. Bocah yang dulu hampir mati saat bersepeda melewati perempatan jalan raya, kini menjelma menjadi laki-laki gagah dengan senyum menawan. Kaus putih, dia padukan dengan celana cargo hitam, membuatnya terlihat sederhana.

”Heh!”

Aku terperanjat kaget. Memori telah membawaku ke masa kecil, di mana kami dibesarkan di satu lingkungan yang sama. Kulihat wajah lelahnya tersenyum melihat tingkah anehku. Wajah yang dulu sering kujadikan sasaran spidol warna di sekolah, mencoretnya sesukaku, membuat kumis sampai titik-titik merah seperti cacar air.

”Ampera. Bidik saja Ampera,” singkatku. Dia beranjak dari duduk, lalu berjalan ke tepian perahu. ”Tunggu sebentar lagi, matahari masih terlalu tinggi.”

Hanya jemarinya yang merespon perkataanku dengan membentuk tanda ‘OK.’ Punggung itu adalah peganganku saat aku membonceng sepedanya, dulu. Dia akan sengaja membawa sepedanya ke jalan-jalan rusak agar aku berpegang lebih erat. Dulu punggungnya belum selebar itu, bahunya belum sekekar sekarang.

”Oke, ambil gambar sesukamu,” komandoku. Berkali-kali kudengar suara jepretan kamera berlensa panjang miliknya. Hampir tak berjeda, tanpa sedikitpun melewatkan warna oranye yang perlahan meredup.

Dulu, dia tak sependiam ini. Selalu ada saja topik yang dia bawa saat menghampiri mejaku di kelas sebelah kelasnya. Selalu saja dia datang dengan kotak spidolnya, menanyakan warna satu per satu meski sudah kutempeli tulisan kecil.

”Ini, lihat!” Pekikku gemas. ”Ini merah, dan tulisannya sudah aku selotip. Lihat? Kelihatan? Jelas?”

Dia hanya tertawa jahil, lalu menepuk dahinya berpura-pura lupa. Dulu. Sekarang, tawa jahilnya sudah berubah menjadi senyum manis dan tenang. Tidak lagi membuatku gemas, melainkan tersipu malu.

”Kapan kamu kembali lagi ke Palembang?” Tanyaku selagi memeriksa hasil fotonya. Hampir tidak ada detik yang terlewat, dia benar-benar mengambil semua moment. ”Masihkan kamu mengingat aku, beberapa tahun ke depan?”

Dia terkekeh sambil menggeleng. ”Aku hanya buta warna, Gwen. Bukan pelupa.”

Tanganku digenggamnya erat, bersamaan dengan jingga yang perlahan menghilang. Sama seperti dulu, saat aku terjatuh dari sepedanya dan menangis melihat luka di sikuku.
Tidak, hanya mengingatku duduk di satu harimu saja belum cukup. Jadikan aku bagian dari hitam dan kelabu duniamu.

*Ditulis untuk #15HariNgeblogFF #day3

6 thoughts on “Jingga di Ujung Senja

Leave a comment