Terbayar

“Mati!” itu yang dia katakan berkali-kali di depan telingaku. Matanya memerah karena amarah dan kesedihan. pisau di tanganku berlumuran darah. Itu adalah rekan kerjanya selama bertahun-tahun. Umur mereka sudah sama tuanya, tapi otaknya sama-sama encer dan punya jaringan di mana-mana. “Kau gila!”

“Dia yang memulai duluan, Gus. Aku menang, tapi tak bisa kau salahkan karena dia tak lagi bisa ditanyai kelakuannya.” Aku mengusap pisau di tangan, kami tertahan di jalan tol karena kehabisan bensin.

Tas-tas berisi uang hasil merampok di bank tadi siang masih rapi di dalam bagasi, harusnya kami bagi tiga. Tapi tubuh mati di kursi belakang ingin menguasai semuanya, dan mulai menyerangku. Itu kasus versiku.

“Dia laki-laki, bagaimana bisa kau melawannya dengan mudah kalau kau tidak menikamnya diam-diam?!”

“Dan kau, berhenti meremehkan wanita seperti kau meremehkan ibuku!” Pisau itu menancap di lehernya dalam hitungan detik. Lalu menyayat tangan kirinya sampai di pergelangan.

*

“Kau dilindungi. Masuklah ke jaringan perampok ini dengan hati-hati. Ingat, kau yang meminta menangani kasus ini, kau harus bisa menyelesaikannya. Dan kau harus kembali ke sini hidup-hidup. Kami belum siap kehilanganmu.”

“Siap, Pak! Percaya lah, aku akan membawa salah satu dari mereka ke kantor dan menghentikan kekejaman mereka selama ini.”

*

“Kau yakin?” Ibu menanyakan pertanyaan itu lagi. Dia merasakah kekhawatiran berlebihan setelah aku masuk akademi kepolisian wanita dan akhirnya menjadi bagian di tim khusus.

“Yakin. Aku sudah terlalu lama memendam kemarahan pada ayah, aku pastikan dia membusuk di penjara atau mati di tanganku.”

“Tapi dia ayahmu…”

“Dia yang membuat tanganmu diamputasi, Bu…”

 

 

*) Flash Fiction ini ditulis untuk mengikuti program #FF2in1 dari Tiket.com dan nulisbuku.com #TiketBaliGratis.

Leave a comment